Bincang Pagi di Puncak Uhai Sibali Bulo

  • Bagikan

TIGA kendaraan itu bertemu di kandang oto Wonomulyo. Sekitar jam 16.30 kami lalu beranjak menuju barat. Arus ramai membuat laju mobil tak dapat dikebut. 15 menit berlalu kami telah berada di simpang tiga Lampa, jalur yang juga mengarah ke bendung Sekka-Sekka. Sore cukup sibuk di area ini.

Oleh:
Adi Arwan Alimin

Konvoi kecil ini dipandu Rudianto. Ia mengenal cukup baik rute Desa Bulo, Kecamatan Bulo. Kerabatnya seperti rimpang jahe bila menyebut selusur kawasan Kanusuang dan sekitarnya. Seperti biasa, jalanan tentu sedikit lebih riuh, itulah suasana di mana-mana bila jelang petang di Parreqdeang, Sila-sila, hingga Landi.

Penulis belum pernah menjejak destinasi wisata Desa Bulo. Kecuali melihatnya amat meriah melalui media sosial dan postingan beberapa kawan yang kerap mengajak berkemah di sana. Praktis hanya suah sampai di Desa Pulliwa kala metindor seorang sahabat wartawan, Nurhadi yang jodohnya tertambat di Pulliwa. Itu di masa covid tahun lalu.

Bagi wisatawan yang menyukai spot pegunungan atau kontur meninggi dari permukaan laut, destinasi yang ditawarkan desa wisata ini tentu sangat menarik. Kali ini, penulis akan menghadiri undangan rapat koordinasi Komisi Pemilihan Umum (KPU) Polewali Mandar, yang digelar di cungkup Loko Pambare-bare, Kamis-Jumat, 13-14 Oktober.

Momentum yang tak boleh dilepas, sudah lama ingin menjangkau daerah ini. Rasa penasaran dengan bukit Senayan atau Tammarammung, Bukit Anugerah, Tameyahung atau kebun durian milik teman di Facebook, membuat penulis langsung unjuk jemari ingin hadir.

Rute yang berkelok, sisi tebing juga jurang dalam di kanan atau kiri membuat pengendara mesti berhati-hati. Jangan ragu untuk menyalakkan klakson agar geometri jalanan dapat menjauhkan dari pertemuan tiba-tiba dengan kendaraan lain. Ini perlu diperhatikan secara saksama oleh siapapun yang berkendara.

Semburat jingga menyambut ketika penulis tiba di area Loko Pambare-bare, Bulo, Polewali Mandar. Sejumlah staf KPU Polewali Mandar tampak mengepulkan asap dari sabut kelapa, mereka membakar jagung hasil kebun warga sekitar. Beberapa jaras berisi durian segera disaji. Wah, ini kemewahan yang banyak dicari-cari. 

Perjalanan sejauh kurang lebih 25 kilometer dari trans Sulawesi Kamis sore ditempuh sekitar sejam. Kami bertiga jalan beriring, ada Rudianto Badar Ketua KPU Polewali Mandar, dan anggotanya Andi Rannu. Rudianto membawa putranya, Muhammad Fatih.

Sesekali saya mengamati warga yang berdiri di sisi jalan, mana tahu ada teman sekolah di sana. Paling tidak sejawat alumni di seputar Bulo. Di sini, ada rekan yang pernah menjadi sekretaris desa, warga menunjukkan area kebunnya yang dipenuhi pohon durian. Juga seorang camat yang telah mutasi.

“Nama Loko berarti lumbung, sedang Pambare-bare bermakna cara berbagi atau pembagian,” ujar Rita pemilik loko yang melatari area ini pada Andi Rannu dan Rudianto. Belasan pondok berukuran 3X3 meter terlihat disusun berjajar menghadap ke selatan.

Ia menyebut terinspirasi dari kekhasan destinasi pulau Dewata Bali. Penulis menyimaknya piawai menjelaskan semua aspek dan potensi keparwisataan lokal. Sebuah joglo bergaya khas dibangun sebagai ruang pertemuan.

Di bawah konstruksinya yang beratap rumbia, semua aktivitas rakor ini dilakukan. Mulai dari makan malam, dan sharing materi bimbingan teknis yang dipandu Nurjannah Waris, Kadiv Teknis KPU Polewali Mandar.

Malam yang dibebat suhu sekitar 22 derajat membuat peserta mengeratkan jaket. Kontur desa ini tak kalah eloknya dengan destinasi lain. Desa Bulo memiliki kawasan agrowisata Kebun Raya Bulo seluas 500 hektar, pada laman jejaring desa wisata atau https://jadesta.kemenparekraf.go.id/desa/bulo, desa ini termasuk 300 desa wisata unggulan. Saat ini Indonesia memiliki 8.506 kelurahan, dan 74.961 desa di Indonesia.

Bimtek juga dihadiri Kadiv Teknis KPU Provinsi Sulbar Said Usman Umar, dan Kadiv Pengawasan dan Hukum Farhanuddin. Staf sekretariat KPU Polewali Mandar pun hadir, peserta menggelar simulasi verifikasi faktual dalam beberapa studi di lapangan.

Area Loko ini sepertinya pas untuk menggelar berbagai kegiatan kantoran atau komunitas yang memerlukan suasana tenang. Sepertinya hanya perihal jaringan internet yang perlu dioptimasi. Penulis menggunakan voucher satelit berbayar sekian jam saat Kamis malam, itu pun tak optimal hingga pagi. 

***
Penulis beruntung, ada Amal Tetekeng yang hadir menemani kami berbincang berbagi perihal yang sedang tren bersama Farhanuddin, Nurjannah hingga jam 02.00 dini hari, seraya menyeruput jahe merah yang ditanak Rudianto. Kami pun masih berkutat mencari jaringan yang timbul tenggelam di ketinggian bukit. Tapi nihil.

Tokoh pemuda dari Bulo ini benar-benar menjadi pemandu untuk dapat memahami kontur wilayah, juga istiadat di daerah yang masih memegang teguh prinsip Adaq Tuo Ulu Salu. Usai shalat subuh Amal sudah berada di puncak Uhai Sibali bersama Rudianto, Nurjannah Waris dan staf lainnya. Lanskapnya menawarkan panorama menyihir.

Mereka menanti ruar ambung atau kabut bagai permadani, pagi itu halimun memutih memayungi wilayah Sabura. Penulis datang agak telat tetapi masih dapat menikmati suasana Uhai Sibali, juga bukit yang tampak pupus dari jauh. Jajar pegunungan yang disapu kabut dan pucuk-pucuk pepohonan yang buram mengentalkan imaji. Ini negeri atas awan.

“Itu Tapua kak, yang di ujung. Yang ditutupi kabut ini Sabura,” tunjuk Amal. Nama Tapua dan Sabura diksi amat tua dalam ingatan penulis. Itu wilayah yang sejak kecil sering kami dengar di Kampung Jawa. Penulis memiliki teman sekolah yang berasal dari dua wilayah ini.

Menurut Amal, suatu hari sebelum Covid menyerbu, mereka pesiar ke Tana Toraja sebab penasaran pada Lolai yang terletak di Kecamatan Kepala Pitu, Rantepao, Kabupaten Toraja Utara, Sulawesi Selatan. Tiba di sana, kampung yang berada di ketinggian 1.300 meter di atas permukaan laut itu menyulut kesadaran mereka. Amal, dan kawan-kawan saat bergegas pulang meyakini tanah kelahiran mereka juga memiliki khazanah yang tak kalah bagusnya.

“Ternyata begini negeri atas awan Lolai, di Bulo juga kita memiliki puncak berkabut,” kisah Amal di Uhai Sibali Kamis pagi.

Anak muda yang aktivis sosial ini mengatakan, promosi wisata alam di Bulo lalu menarik kedatangan ribuan orang melalui media sosial. Pemerintah daerah pun menunjang, jalan beraspal mulus ke Bulo menegaskannya.

Diskusi kami berlanjut di baruga beratap rumbia. Jumat pagi yang sejuk diantarai suguhan sarapan usai berguyur airnya yang dingin. Di luar, matahari menyinarkan cahaya walau tetap terasa dingin.

“Di sini, persoalan warga baru akan sampai ke hukum formal bila tak dapat diselesaikan secara adat, itu masih kuat dan dijaga. Adat masih memiliki peran utama,” sebut Amal yang juga pemilik Bukit Senayan atau Tammarammung, salah spot utama negeri awan Bulo.

Kami serius membincang peran amaraqdiangang, dan 12 adat Sibali-bali di Bulo. Inilah tiang kearifan yang dijulang sejak ratus tahun silam, dan kini terus menjaga kehidupan sosial masyarakatnya. Peradaban yang kian maju tentu akan membuatnya dijaga lebih kokoh, agar akulturasi budaya tumbuh berdampingan di sini. 

Sebelum beranjak meninggalkan Bulo jam 08.00, kami menikmati ‘baalas’ Taraqju panas, penganan dari ubi jalar- yang disambung ‘smokol’ nasi goreng menu khas Loko Pambare-pare, tastenya recommended banget. Setelah berkendara di jalur yang relatif sepi saat pagi, penulis kembali menjejak ter di Lampa jam 08.45.

Jarak yang terasa dekat untuk menjejak negeri awannya. Bagi pembaca, kapan akan berkunjung ke Desa Bulo. Durian, juga kabutnya menantimu… (*) 

  • Bagikan