Masa Depan Uang RI?

  • Bagikan
Roseno Napu Setiawan

UNDANG-Undang No 7 tahun 2011 tentang Mata Uang menyatakan bahwa uang kita rupiah adalah satu-satunya alat pembayaran yang sah di Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Dan setiap transaksi yang mempunyai tujuan pembayaran yang dilakukan di wilayah NKRI wajib menggunakan rupiah.

Oleh:
Roseno Napu Setiawan
ASN Kementerian Keuangan

Keberadaan rupiah bukan hanya semata sebagai alat tukar tapi memiliki nilai historis dan perjuangan bagi bangsa Indonesia.

Menengok sejenak catatan sejarah pada Oktober 1946, Oeang RI pertama kali disahkan sebagai satu-satunya alat pembayaran di NKRI yang menandai kemerdekaan kita dan masa baru pengelolaan pengelolaan keuangan di Indonesia.

Pada waktu itu, Wakil Presiden RI Mohammad Hatta memberikan pidatonya pada 29 Oktober 1946 melalui Radio Republik Indonesia (RRI) Yogyakarta dengan menyatakan: “Besok tanggal 30 Oktober 1946 adalah suatu hari yang mengandung sejarah bagi tanah air kita. Rakyat kita menghadapi penghidupan baru. Besok mulai beredar Oeang Republik Indonesia sebagai satu-satunya alat pembayaran yang sah. Mulai pukul 12 tengah malam nanti, uang Jepang yang selama ini beredar sebagai uang yang sah, tidak laku lagi. Beserta uang Jepang itu ikut pula tidak laku uang Javasche Bank. Dengan ini, tutuplah suatu masa dalam sejarah keuangan Republik Indonesia. Masa yang penuh dengan penderitaan dan kesukaran bagi rakyat kita. Uang sendiri itu adalah tanda kemerdekaan Negara”.

Pidato Bung Hatta ini memiliki pesan yang mendalam dan memberi arti betapa pentingnya keberadaan mata uang sendiri bagi bangsa Indonesia.

Perkembangan ekonomi dan moneter dunia semakin hari semakin pesat. Belakangan ini orang mulai mengenal Cryptocurrency atau sering disebut kripto.

Kripto adalah mata uang digital yang menggunakan sistem kriptografi atau yang sering juga dikenal blockchain sebagai sistem yang menjaga keamanan dari mata uang digital tersebut.

Pesatnya pertumbuhan aset kripto mengakibatkan beberapa negara mulai meneliti kemungkinan penggunaan uang digital yang disebut Central Bank Digital Currency (CBDC).

CBDC adalah uang digital yang diterbitkan dan peredarannya dikontrol oleh bank sentral dan digunakan sebagai alat pembayaran yang sah untuk menggantikan uang kartal. Secara teknologi, CBDC mengadopsi teknologi kripto yang menggunakan blockchain.

Beberapa negara seperti Bahama telah meluncurkan dan mulai menggunakan CBDC sebagai mata uang resmi di negaranya.

Sementara itu, beberapa negara lainnya seperti Prancis dan Tiongkok telah melakukan riset dan saat ini sudah mulai melakukan uji coba penggunaan uang digital.

Bagaimana dengan Indonesia? di negara kita juga sedang dalam meneliti pengembangan dan penggunaan Rupiah Digital sebagai CBDC.

Pembahasan CBDC juga menjadi salah satu pokok bahasan dalam pertemuan G20, dimana tahun 2022 ini Indonesia menjadi tuan rumah atas pelaksanaan forum G20 ini.

Sebagaimana kita ketahui, G20 adalah forum kerja sama multilateral yang terdiri dari 19 negara utama dan Uni Eropa (EU) yang merepresentasikan lebih dari 60 persen populasi bumi, 75 persen perdagangan global, dan 80 persen PDB dunia.

Meskipun CBDC mengadopsi teknologi kripto namun secara praktek akan berbeda dengan koin atau token kripto yang lebih dahulu dikenal oleh masyarakat saat ini.

Pada umumnya koin kripto akan menggunakan teknologi blockchain publik, bersifat terdesentralisasi, diterbitkan oleh pihak swasta dan nilainya bergantung pada mekanisme pasar.

Sebaliknya, CBDC karena diterbitkan oleh negara maka menggunakan blockchain privat, bersifat tersentralisasi, dan dijamin negara sehingga dapat digunakan selayaknya uang kartal yang telah beredar.

Keberadaan CBDC akan bertindak sebagai representasi digital dari mata uang yang berlaku pada suatu negara. Seperti halnya mata uang kartal yang telah ada, CBDC akan didukung oleh cadangan moneter yang sesuai dan disepakati negara.

Selain itu CBDC harus dapat memenuhi 3 fungsi dasar uang, yaitu sebagai alat penyimpan nilai (store of value), alat pertukaran/pembayaran (medium of exchange) dan alat pengukur nilai barang dan jasa (unit of account).

Sekilas CBDC terlihat tidak ada bedanya dengan uang elektronik ataupun cara pembayaran secara elektronik yang sudah ada pada saat ini.

Namun bila dilihat secara lebih teliti maka terdapat perbedaan yang cukup signifikan antara CBDC dengan uang elektronik.

Uang elektronik merupakan alat pembayaran dalam bentuk elektronik dimana nilai uangnya disimpan dalam media elektronik tertentu.

Pengguna uang elektronik harus menyetorkan uangnya terlebih dahulu kepada penerbit untuk disimpan dalam media elektronik sebelum digunakan bertransaksi.

Berbeda dengan itu, CBDC merupakan uang digital yang diterbitkan dan peredarannya dikontrol oleh bank sentral, dan digunakan sebagai alat pembayaran yang sah untuk menggantikan uang kartal

Apabila CBDC atau rupiah digital di implementasikan maka akan membawa beberapa keuntungan dibandingkan dengan sistem yang ada saat ini.

Keuntungannya adalah lebih cepat, efisien dan efektif dalam model pembayaran, menurunkan biaya penerbitan, sirkulasi dan penanganan uang kertas, memungkinkan adanya penelusuran terhadap uang yang beredar, dan dapat memantau supply uang yang beredar secara efektif.

Namun demikian, di sisi lain juga timbul tantangan yang besar mulai dari penerbitan, implementasi, adopsi masyarakat, hingga terkait keamanan dan kehandalan sistem.

Selain itu, juga terdapat tantangan dari segi legalitas hukum yang terkait dengan undang-undang mata uang. Penerapan CBDC tentunya memerlukan pertimbangan yang sangat matang dan waktu persiapan yang panjang karena akan mempengaruhi stabilitas ekonomi, moneter, dan sistem keuangan.

Implementasi CBDC merupakan suatu tantangan besar dalam sistem keuangan dan moneter Indonesia. Namun dibalik tantangan yang besar juga terdapat berbagai kemungkinan dan peluang yang besar.

Dengan demikian sangat penting untuk mencari dan memanfaatkan peluang dan kesempatan yang muncul dari suatu perubahan.

Sebagaimana tema yang diusung dalam pelaksanaan Presiden G20 Indonesia yakni “Recover Together, Recover Stronger”, menjadi harapan kita semua bahwa setiap perubahan yang ada dapat dimanfaatkan untuk membawa dunia dan Indonesia khususnya untuk pulih lebih cepat dan bangkit lebih kuat. (*)

Catatan:
Tulisan ini merupakan pendapat pribadi dan tidak mewakili institusi tempat penulis bekerja
.

  • Bagikan