Bung Tampang, Sang Komentator Sepakbola Legendaris Polewali Mandar

  • Bagikan
Bung Tampang dan toa atau pengeras suara miliknya.

20 tahun silam, di Lapangan Gaspol, Kelurahan Polewali, Kabupaten Polewali Mamasa (sekarang Polewali Mandar) atau sebelum Sulbar terbentuk, dihelat turnamen sepakbola antar klub lokal. Namun saat itu panitia bingung tak ada yang mau jadi komentator guna memandu jalannya pertandingan.

Laporan: Gazali Ahmad
Polewali Mandar

Tiba-tiba seorang pemuda bernama Usman alias Bung Tampang kemudian tampil memberanikan diri menjadi komentator pertama kali pada pertandingan pembuka turnamen ini, tak disangka penonton antusias menikmati jalannya pertandingan. Berawal dari keberaniannya inilah Bung Tampang kemudian menjadi komentator sepakbola tersohor di Sulbar.

“Alhamdulillah di Sulbar ini jarang-jarang ada pemain bola yang tidak kenal Bung Tampang,” ujarnya saat ditemui usai Salat Ashar di Masjid Raudhatul Muttaqin, Desa Campurjo, Kecamatan Wonomulyo, pekan kemarin.

Tarifnya jadi komentator sepakbola bervariasi, mulai dari Rp 200 ribu sampai Rp 350 ribu per pertandingan. Bahkan ia sudah ditawari di turnamen Arsal Aras Cup di Kabupaten Mamuju Tengah sebesar Rp 2,5 juta perminggu serta Rp 3 juta di turnamen sepak bola Tomadio Cup Campalagian. Tapi Bung Tampang menghitungnya dari jarak tempuh.

“Di Mateng saya ditawari Rp 2,5 juta per minggu, ada juga liga tomadio di Campalagian saya ditawari Rp 3 juta per turnamen, tergantung jarak lah,” bebernya.

Selama bulan Ramadan, lelaki kelahiran 1971 ini selalu kebanjiran job jadi komentator, diantaranya Liga Ramadan di Lapangan Kebun Sari serta turnamen Hatta Kainang Cup di Lapangan Merdeka Kecamatan Wonomulyo, kemudian berlanjut di Liga Ramadan di Desa Patulang, Kecamatan Tutar, Polman.

“Sudah 20 tahun saya geluti profesi komentator ini, hasilnya untuk hidupi anak dan istri, ” terangnya.

Bung tampang belajar memandu jalan pertandingan sepakbola secara otodidak. Ia banyak mengambil ilmu dari para komentator bola nasional di siaran langsung sepakbola di layar televisi maupun radio RRI.

“Ini modal nekat timbul secara mendadak, berawal dari suatu turnamen sepakbola di Polewali. Mereka mau jalan, namun tak ada yang bisa jadi komentator. Akhirnya saya beranikan diri jadi komentator, ” tuturnya.

Suka duka menjalani profesi ini telah ia lalui. Bung Tampang pernah mengalami kecelakaan terjatuh dari sepeda motornya lantaran akses jalan buruk menuju lokasi pertandingan. Kaki kirinya patah. Pernah juga sound system milik panitia mengalami kerusakan. Itu sebab sampai sekarang ia kerap membawa toa pengeras suara sendiri saat mendapatkan job komentator.

“Memang dulu saya pernah jadi pemain bola tapi cuma antar kampung,” kenangnya. (*)

  • Bagikan

Exit mobile version