Pesan Positif dari Tradisi Menyelamati Pemenang Pemilu

  • Bagikan
Tangkapan layar ketiga Calon Presiden RI (dari kiri ke kanan) Anis Baswedan, Prabowo Subianto, dan Ganjar Pranowo saat mengikuti debat kelima Pilpres 2024 yang digelar oleh Komisi Pemilihan Umum di Jakarta, Minggu (4/2/2023) malam. (ANTARA/M Riezko Bima Elko P)

JAKARTA, SULBAR EXPRESS – Proses pemilihan umum akhirnya tuntas begitu Mahkamah Konstitusi menolak seluruh gugatan Anies Baswedan-Muhaimin Iskandar dan Ganjar Pranowo-Mahfud MD pada sidang pembacaan putusan 22 April kemarin.

Salah satu bagian termanis dari episode terakhir dalam pemilihan presiden Republik Indonesia 2024 itu adalah ucapan selamat dari kedua pasangan calon yang mengajukan gugatan, kepada presiden dan wakil presiden terpilih, Prabowo Subianto dan Gibran Rakabuming Raka.

Ganjar Pranowo menyampaikan selamat itu saat diwawancarai wartawan, sedangkan Mahfud MD membuat sesi khusus untuk menyampaikan pidato singkat kepada media.

Sedangkan Anies Baswedan dan Muhaimain Iskandar menyampaikan selamat dalam pidato khusus yang disiarkan dalam kanal-kanal media sosial Anies Baswedan.

Kedua pasangan menyelamati Prabowo-Gibran sambil menyampaikan catatan-catatan khusus selama proses pemilu, yang memang wajar disampaikan guna mengingatkan praktik yang dinilai tidak baik dalam proses pemilu tak lagi terulang.

Kedua pasangan juga menyampaikan terima kasihnya kepada para pendukungnya dan menjanjikan tetap memperjuangkan aspirasi pemilih-pemilih mereka.

Momen ini terbilang langka karena dalam proses pemilu Indonesia, menyelamati pemenang pemilu tidak menjadi kebiasaan yang semestinya dirawat semua pihak.

Menjadi istimewa, karena dalam lima pemilu presiden terakhir di Indonesia selalu ada gugatan hasil pemilu presiden lewat Mahkamah Konstitusi.

Pemilu 2024 adalah pemilu keempat yang mesti menunggu ketok palu hakim Mahkamah Konstitusi sebelum pemenang pemilu ditetapkan sebagai pemenang.

Terutama pada keempat dari kelima sengketa hasil pemilu presiden terakhir, gugatan kecurangan dalam pemilu terlihat dominan, terlebih pada tiga pemilu terakhir.

Tiga dari gugatan itu lebih menarik lagi karena diajukan ketika pemenang pemilu bukan petahana. Namun untuk kelima kalinya, Mahkamah Konstitusi menolak gugatan hasil suara dalam kelima pemilu itu.

Meskipun demikian, ada pesan baik di balik gugatan hasil suara dalam lima pemilu presiden terakhir itu, bahwa Indonesia memberikan ruang lapang kepada pihak yang menilai pemilu berjalan tidak semestinya, lewat cara-cara damai yang meninggikan hukum.

Namun itu juga menciptakan preseden tidak terlalu baik bahwa hasil pemilu presiden akan tetap diperkarakan di pengadilan, tak peduli selisih suara lebar atau tidak.

Kini, Pemilu 2024 telah selesai. Semua pihak terlihat sudah berusaha merajut lagi kebersamaan. Yang tidak memenangkan pemilu sudah menyelamati yang memenangkan pemilu. Bahkan kali ini terbilang istimewa karena semua pasangan calon menyelamati pemenang pemilu begitu Mahkamah Konstitusi mengeluarkan putusan.

Mungkin yang masih kurang adalah seruan bersatu kembali kepada pemilih khususnya dan rakyat umumnya.

Ini terasa sangat perlu mengingat pemilu kali ini, seperti dalam dua pemilu sebelumnya, telah begitu menciptakan polarisasi sosial yang begitu dalam.

Kembali bersatu

Dalam kaitan itu, Indonesia mungkin bisa belajar dari banyak praktik positif yang terjadi di bagian lain dari dunia ini, salah satunya sikap Al Gore ketika mengakhiri krisis Pemilu dengan menyelamati Goerge Bush pada 2000.

Pemilu 2000 merupakan salah satu dari tiga pemilu presiden Amerika Serikat paling sengit yang membelah rakyat negeri itu.

Bush memenangkan pemilu dengan selisih tipis sekali, cuma 5 electoral vote dan 540.000 suara atau hanya 0,5 persen. Bandingkan dengan selisih suara pilpres di Indonesia yang rata-rata berselisih belasan juta sampai puluhan juta suara.

Al Gore tiga kali merevisi ucapan selamat dan pengakuan terhadap kemenangan lawan dalam Pemilu 2000, karena sangat tipisnya perbedaan hasil suara pemilu itu sampai memaksa intervensi hukum dari Mahkamah Agung.

Setelah Mahkamah Agung menyatakan Bush memenangkan pemilu, Al Gore menyampaikan pidato resmi yang disiarkan televisi secara luas.

Seperti halnya pernyataan kemenangan pemilu yang disampaikan Bush yang di antaranya berisi ajakan kepada rakyat Amerika Serikat untuk bersatu kembali, Al Gore pun begitu.

“Saya mengajak beliau (Bush) untuk bertemu sesegera mungkin sehingga kita bisa segera mengobati perpecahan akibat kampanye dan kontestasi yang sudah kita lewati,” kata Al Gore dalam pidatonya itu.

Al Gore yang menyadari proses pemilu 2000 telah membuat rakyat Amerika Serikat begitu terbelah sampai mengancam kesatuan nasional ketika negara itu tengah menghadapi tantangan global akut yang membutuhkan persatuan bangsa, lalu menyitir kalimat Senator Stephen Douglas setelah kalah dari Abraham Lincoln dalam Pemilu 1860.

“Sikap partisan harus dikalahkan oleh patriotisme. Saya bersama Anda, Pak Presiden, Tuhan memberkati Anda,” kata Al Gore kepada Bush, mengulangi pernyataan Stephen Douglas kepada Abraham Lincoln itu.

Al Gore memang mengaku tidak puas atas putusan Mahkamah Agung, tapi dengan eloknya dia mengajak para pemilihnya mendukung Bush kendati bukan pilihan mereka.

“Secara khusus saya mendesak semua orang yang telah mendukung kami agar bersatu mendukung presiden kita berikutnya. Inilah Amerika. Kita satukan barisan dan bersatu begitu kontestasi selesai,” kata Al Gore.

Memang tak harus persis seperti Al Gore, tapi tak ada salahnya meniru hal baik dari siapa pun, meskipun Amerika Serikat pun tidak selalu begitu, salah satunya Donald Trump yang merupakan kekecualian dari tradisi baik di Amerika sana.

Dengan cara itu, para pemimpin konsisten menyerukan persatuan nasional, apalagi aspek ini sangat dimuliakan di Indonesia, karena memang diamanatkan baik oleh dasar negara Pancasila maupun konstitusi.

Ajakan bersatu kembali menjadi kian penting, ketika proses pemilu dari periode ke periode semakin membelah masyarakat, yang terus terjadi bisa melanggengkan permusuhan sosial yang sangat tidak bagus bagi persatuan nasional.

Ajakan itu juga penting dalam kaitannya untuk membangun kepercayaan atau trust kepada institusi-institusi kenegaraan, baik legislatif, eksekutif, maupun yudikatif, walaupun lembaga-lembaga itu tak bebas dari kekurangan yang harus dikoreksi.

Pada era post-truth seperti sekarang di mana kebenaran lebih ditentukan oleh asumsi ketimbang fakta, ketiadaan pesan untuk tetap menghormati dan mempercayai kelembagaan politik dan hukum bisa membahayakan integrasi nasional.

Oleh: Jafar M Sidik

  • Bagikan

Exit mobile version