MAMUJU, SULBAR EXPRESS – PT Letawa, perusahaan perkebunan kelapa sawit yang beroperasi di Kabupaten Pasangkayu, dilaporkan ke Polda Sulbar, Sabtu 3 Mei 2025.
Laporan terhadap anak perusahaan PT Astra Agro Lestari (AAL) itu diajukan Kantor Hukum HJ Bintang & Partners, dalam kapasitas sebagai Kuasa Hukum dari Asosiasi Petani Sawit Pasangkayu (APSP) berdasarkan Surat Kuasa Khusus tertanggal 22 April 2025.
“Dengan ini kami mengajukan Laporan dugaan tindak pidana korporasi sehubungan dengan kegiatan usaha perkebunan oleh PT Letawa yang diduga dilakukan di luar hak guna usaha (HGU) yang sah dan tanpa izin usaha perkebunan (IUP) sebagaimana diatur oleh ketentuan hukum yang berlaku,” ucap Hasri SH.,MH, selaku Managing & Founder HJ Bintang & Partners, Sabtu 3 Mei 2025.
Hasri atau yang dikenal dengan sapaan Jack ini menjelaskan, dasar pengajuan laporan tersebut adalah: Pertama, data-fakta lapangan atas kegiatan perkebunan PT Letawa di luar HGU sah milik perusahaan.
Kedua, ketentuan hukum nasional yang mengatur kewajiban memiliki izin usaha dan hak atas tanah dalam kegiatan usaha perkebunan.
Ketiga, prinsip praduga tak bersalah sebagaimana diatur dalam Pasal 8 ayat (1) UU Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman. Keempat, hak warga negara untuk melaporkan dugaan tindak pidana demi penegakan hukum yang adil.
Uraian Perkara
Berdasarkan hasil investigasi, verifikasi dokumen, dan pengaduan masyarakat, Kantor Hukum HJ Bintang & Partners menemukan fakta sebagai berikut:
1. Bahwa PT Letawa mengelola perkebunan kelapa sawit di luar batas HGU miliknya berdasarkan data dari Badan Pertanahan Nasional (BPN).
2. Bahwa penguasaan dan penggunaan tanah di luar HGU dilakukan tanpa dasar hukum yang sah, tanpa pembebasan hak atau ganti rugi kepada masyarakat.
3. Bahwa kegiatan usaha di luar HGU dilakukan tanpa Izin Usaha Perkebunan (IUP) yang sesuai dengan lokasi aktual operasional.
4. Bahwa perambahan tanah di luar HGU ini telah menimbulkan kerugian ekonomi, sosial, dan hak atas tanah bagi masyarakat lokal.
5. Bahwa kegiatan perkebunan di luar HGU merupakan tindakan melanggar hukum pidana berdasarkan ketentuan sektoral yang berlaku.
6. Bahwa tindakan PT. Letawa yang selama ini mengelola dan memanen hasil perkebunan di luar HGU merupakan perbuatan melawan hukum sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal 42 ayat (1) Undang-Undang Nomor 39 Tahun 2014 tentang Perkebunan sebagaimana yang telah diubah oleh Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 6 Tahun 2023 Tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2022 Tentang Cipta Kerja Menjadi Undang Undang, yang berbunyi “Kegiatan usaha budi daya Tanaman Perkebunandan/atau usaha Pengolahan Hasil Perkebunan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 41 ayat (1) hanya dapat dilakukan oleh Perusahaan Perkebunan apabila telah mendapatkan hak atas Tanah dan memenuhi Perizinan Berusaha terkait Perkebunan dari Pemerintah Pusat”.
7. Bahwa kewajiban pelaku usaha perkebunan memiliki hak atas tanah dan perizinan berusaha secara komulatif, ketentuan ini tidak hanya berlaku sejak terbitnya UndangUndang Cipta Kerja melainkan berlaku sejak tahun 2015 berdasarkan Putusan Mahkamah Konstitusi No.138/PUU-XIII/2015 tanggal 24 Agustus 2014 yang dalam amar putusannya pada angka 1.7 menyatakan “Pasal 42 Undang-Undang Nomor 39 Tahun 2014 tentang Perkebunan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2014 Nomor 308, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5613) bertentangan dengan Undang-Undang Dasar negara Republik Indonesia Tahun 1945 secara bersyarat sepanjang frasa “hak atas tanah dan/atau izin usaha perkebunan” dalam ketentuan dimaksud tidak dimaknai hak atas tanah dan izin usaha perkebunan”.
Ketentuan ini menegaskan bahwa tidak boleh lagi pelaku usaha perkebunan hanya memiliki salah satu dari yang dipersyaratkan yaitu hak atas tanah atau izin usaha perkebunan. Sejalan dengan Putusan MK tersebut, sehingga Pasal 42 Undang-Undang Nomor 39 Tahun 2014 tentang Perkebunan kemudian telah diubah dengan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 6 Tahun 2023 Tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2022 Tentang Cipta Kerja.
8. Bahwa dalam Pasal 1 angka 5 Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah menyatakan “Hak atas tanah adalah hak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16 Undang-undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-pokok Agraria, selanjutnya disebut UUPA” kemudian dalam Pasal 16 ayat (1) Undang-undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-pokok Agraria menyatakan bahwa “Hak-hak atas tanah sebagai yang dimaksud dalam pasal 4 ayat (1) ialah: a. Hak milik, b. hak guna usaha, c. Hak guna bangunan, d. Hak pakai, e. Hak sewa, f. Hak membuka tanah, g. Hak memungut hasil hutan, h. hak-hak lain yang tidak termasuk dalam hak-hak tersebut diatas yang akan ditetapkan dengan Undang-undang serta hak-hak yang sifatnya sementara sebagai yang disebutkan dalam pasal 53”.
9. Bahwa berdasarkan hal tersebut, PT. Letawa sama sekali tidak memiliki hak atas tanah pada bidang tanah yang dimaksud sehingga PT. Letawa telah melanggar Pasal 42 ayat (1) UUNomor 39 Tahun 2014 tentang Perkebunan sebagaimana yang telah diubah oleh UU Nomor 6 Tahun 2023Tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2022 Tentang Cipta Kerja Menjadi Undang-Undang.
10. Bahwa dengan dilanggarnya pasal 42 ayat (1) tersebut, maka tentunya PT. Letawa telah melakukan kegiatan usaha perkebunan pada bidang tanah di luar HGU tersebut secara tidak sah. Sejalan dengan hal tersebut maka sangat relevan PT. Letawa termasuk subjek hukum yang melakukan perbuatan yang dilarang sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal 55 huruf a UU Nomor 39 Tahun 2014 tentang Perkebunan yang menyatakan “setiap orang secara tidak sah dilarang mengerjakan, menggunakan, menduduki, dan/atau menguasai lahan perkebunan”.
11. Bahwa melanggar pasal 55 huruf a tersebut kemudian dikenakan sanksi pidana sebagaimana yang dinyatakan dalam Pasal 107 huruf a dan d UU Nomor 39 Tahun 2014 tentang Perkebunan yang menyatakan “setiap orang secara tidak sah yang: a. mengerjakan, menggunakan, menduduki, dan/atau menguasai lahan perkebunan, b. memanen dan/atau memungut Hasil Perkebunan; sebagaimana dimaksud dalam Pasal 55, dipidana dengan pidana penjara paling lama 4 (empat) tahun atau denda paling banyak Rp. 4.000.000.000 (empat milyar rupiah).
12. Bahwa karena PT. Letawa adalah suatu badan usaha berbadan hukum maka dapat dikenakan pemberatan sebagaimana yang dinyatakan dalam Pasal 113 UU Nomor 39 Tahun 2014 tentang Perkebunan “Dalam hal perbuatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 103, Pasal 104, Pasal 105, Pasal 106, Pasal 107, Pasal 108, dan Pasal 109 dilakukan oleh korporasi, selain pengurusnya dipidana berdasarkan Pasal 103, Pasal 104, Pasal 105, Pasal 106, Pasal 107, Pasal 108, dan Pasal 109, korporasinya dipidana dengan pidana denda maksimum ditambah 1/3 (sepertiga) dari pidana denda dari masing-masing tersebut”.
13. Bahwa dengan demikian, sangat patut diduga PT. Letawa telah melanggar Pasal 107 huruf a dan d Juncto Pasal 55 huruf a Juncto Pasal 42 ayat (1) Juncto Pasal 113 ayat (1) UU Nomor 39 Tahun 2014 tentang Perkebunan sebagaimana yang telah diubah dengan UU Nomor 6 Tahun 2023 Tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2022 Tentang Cipta Kerja Menjadi Undang-Undang.
Dasar Hukum
Hasri menjelaskan, dalam pengajuan laporan ini setidaknya pihaknya berpegang pada dasar hukum sebagai beriku:
1. UU Nomor 39 Tahun 2014 tentang PerkebunanPutusan Mahkamah Konstitusi No. 138/PUU-XIII/2015 tanggal 24 Agustus 2014.
2. UU Nomor 6 Tahun 2023 Tentang PenetapanPeraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2022 TentangCipta Kerja Menjadi Undang-Undang.
3. UU Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-pokok Agraria, danPeraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah.
“Kami menegaskan bahwa perambahan di luar HGU oleh PT Letawa, tanpa IUP dan hak atas tanah yang sah, adalah tindak pidana. Celah hukum tidak dapat digunakan untuk melegitimasi tindakan tersebut, karena baik UU Perkebunan, UU Cipta Kerja, maupun Putusan MK menegaskan keberlakuan sanksi pidana,” papar Hasri.
Ia menegaskan lagi, pelanggaran ini berdampak serius terhadap hakk milik masyarakat atas tanah, stabilitas sosial dan ekonomi lokal, dan enegakan hukum agraria dan perkebunan nasional.
Bukti Permulaan
Sebagai dasar laporan ini, pelapor melampirkan salinan Sertifikat HGU PT Letawa, peta overlav antara batas HGU dan wilayah faktual operasional, dokumentasi foto dan video kegiatan perkebunan di luar HGU, surat keterangan dari pemerintah desa dan masyarakat, bukti ketidakadaan IUP sah untuk wilayah yang dikelola, dan kronologi terjadinya konflik agraria serta testimoni masyarakat yang terdampak langsung.
Permohonan
Berdasarkan seluruh uraian di atas, Kantor Hukum HJ Bintang & Partners mohon agar:
Pertama dilakukan penyelidikan dan penyidikan atas dugaan tindak pidana korporasi oleh PT Letawa. Kedua, melakukan cekplotting bersama BPN atas bidang-bidang tanah diluar HGU yang dikelola oleh PT. Letawa.
Ketiga, memanggil dan memeriksa pihak manajemen PT Letawa. Keempat, menyita lahan dan hasil perkebunan dari wilayah yang berada di luar HGU.
Kelima, menerapkan prinsip pertanggungjawaban pidana korporasi, sesuai ketentuan hukum nasional. Keenam, menuntut secara pidana terhadap korporasi dan/atau pihak-pihak yang bertanggung jawab.
“Demikian laporan ini kami ajukan dengan itikad baik, untuk mendorong penegakan hukum yang adil, transparan, dan akuntabel. Kami percaya Polda Sulbat akan menindaklanjuti laporan ini sesuai dengan hukum yang berlaku,” tegas Hasri. (*)