Pemulung Lansia Jelajahi Puluhan Kilometer dengan Becak Tua

  • Bagikan
Pasangan lansia di Majene, Abidin dan Dalsia, bersama tumpukan barang bekas yang diangkut dengan becaknya. -- foto: m. danial --

SEPASANG suami-istri sedang bersusah-payah mendorong becak di pendakian. Becaknya penuh barang bekas. Tempat duduk penumpang dan lantainya hampir tak tersisa. Bermuatan barang dalam karung maupun yang berserakan. Tenda becaknya penuh juga tumpukan karton bekas yang diikat tali rapia.

Catatan:
M Danial
(Jurnalis)

Pasutri itu, Abidin dan Dalsia, warga Majene. Keduanya sudah lansia (lanjut usia). Abidin menyebut usianya 65 tahun. Sedangkan Dalsia sepuluh tahun lebih muda. Menjalani hidup sebagai pemulung. Setiap hari menyusuri jalan menggunakan becak tua. Abidin menyebut becak itu merupakan modalnya sebagai pemulung. Digunakan  kemana-mana mencari barang bekas. Tidak hanya dalam wilayah Kota Majene dan sekitarnya. Tapi menjelajah sampai ke Wonomulyo, Polewali Mandar sejauh hampir 40 kilometer. Biasanya ditempuh enam jam. Termasuk istirahat beberapa kali.

“Setiap hari kami mencari barang (bekas) dengan becak ini. Tidak hanya di Majene, sering juga ke Wonomulyo,” jelas Abidin. Penulis berbincang dengan keduanya saat beristirahat di pinggir jalan Trans Sulawesi di Kandemeng, Tinambung, beberapa hari lalu. Katanya, hasil yang diperoleh sebagai pemulung tidak menentu. Apalagi pada musim hujan. Dalam seminggu biasanya paling banyak Rp300.000. Barang bekas yang dikumpul bermacam-macam. Kebanyakan kertas karton. Yang lainnya, seperti plastik, dan botol bekas. Dikumpulkan beberapa hari sampai seminggu, selanjutnya dijual kepada pengumpul.

Siang itu, Abidin dan Dalsia terlihat cukup lelah. Setelah berusah-payah mendorong becak menaklukan tanjakan di ruas jalan tersebut dari arah Majene ke Polewali. Keduanya meninggalkan rumahnya di belakang Lapas Majene sekira pukul delapan pagi. Singgah beristirahat menjelang waktu sholat Jumat. Sebelum melanjutkan perjalanan ke Wonomulyo, Abidin shalat Jumat di Masjid Kandemeng.

Saat berada di jalanan datar, sang istri berada di atas becak yang didayung suaminya. Dalsia mengatakan sudah terbiasa terjepit di antara tumpukan barang bekas di atas becak. Termasuk menggendong barang untuk bisa duduk di atas becak. Perempuan yang belum punya anak itu, membantu suaminya mendorong becak saat berada di pendakian. Abidin mengaku sudah terbiasa mendayung becak bermuatan berat atau mengantar penumpang jarak jauh.

Sebelum menjadi pemulung, Abidin bekerja sebagai tukang becak. Ia putar haluan, sejak becak tradisional tersisih saingan yang makin banyak di Majene. Pria yang mempunyai beberapa anak dari istrinya sebelum Dalsia, bersyukur sudah memiliki becak sendiri sejak beberapa tahun lalu. Becak itulah yang kini menjadi modalnya menjelajah berbagai tempat setiap hari.

“Dulu saya bawa becak. Karena makin banyak saingan di Majene, saya merasa kalah bersaing. Setelah tidak bawa becak, ya seperti sekarang (menjadi pemulung),” jelasnya. Bagi Abidin, yang penting bekerja dan mendapat hasil dengan cara halal. Walau memiliki beberapa anak, Abidin mengaku tidak berharap karena semua sibuk dengan urusan pekerjaannya.

“Ada beberapa anak saya, dari istri sebelum yang ini (Dalsia). Malah ada yang sudah punya mobil. Mereka semua sibuk dengan pekerjaannya. Bagi saya, yang penting berusaha selalu bersabar dengan pekerjaan begini, biarpun hasilnya tidak seberapa,” tutur Abidin, sambil melirik Dalsia di sampingnya. “Yang penting kita tidak pergi meminta-minta,” cetus Dalsia, menegaskan pernyataan suaminya. (*)

  • Bagikan

Exit mobile version