Saat Mobil Reot Itu Jadi Bus Besar

  • Bagikan
Jacobus K. Mayong Padang

MOHON tidak dibaca, dan kalaupun baca tidak usah serius. Karena ini sekedar keisengan memainkan android di saat mata sulit terpejam.

Oleh :
Jacobus K. Mayong Padang
Mantan Sekretaris Fraksi PDI Perjuangan DPR RI

Mungkin karena sedih tidak menghadiri pemakanan kawan Gembong, Sekertaris DPD PDI Perjuangan DKI. Sedihnya karena ia masih muda dan sesungguhnya ia satu di antara sedikit  orang di partai yang tulus dan serius mengurus partai, tulus dan serius mengemban penugasan partai sebagai anggota DPRD DKI Jakarta.

Kaget dengan penilaian tersebut? Saya serius lho. Banyak yang mendapat penugasan partai, di berbagai area pengabdian tetapi sedikit yang tulus dan serius.

Kalau yang lain? Yah kerja juga sambil mengurus urusan lain yang tidak ada kaitannya dengan penugasan partai, di antaranya sibuk menambah harta atau mengusahakan anggota keluarga menjadi pejabat.

Sebab petugas partai tidak boleh menduakan atau menjalankan penugasan partai secara sambil lalu karena tugas yang diembannya sangat mulia; berjuang mewujudkan masyarakat adil dan makmur yang dicita-citakan para pendiri bangsa.

Sayangnya istilah petugas partai disalahtafsirkan banyak orang. Itu karena mereka tidak paham bahwa petugas partai adalah mereka yang diamanahkan untuk memperjuangkan kepentingan rakyat, bangsa dan negara.

Jadi petugas partai adalah petugas rakyat dan mereka harus melaksanakannya dengan tulus dan serius. Jadi yang mencelah istilah petugas partai harus dimaklumi karena keterbatasan pengetahuan mereka ikhwal bernegara.

Dalam kaitan itulah kesedihan menderah bathin saya mendengar kawan Gembong Wardoyo, salah seorang  militan partai, militan memperjuangkan kepentingan rakyat.

Kesedihan saya bertambah karena pada saat yang bersamaan saya mendapat info dari beberapa kawan separtai, ada pulah yang ditugaskan tetapi justru sibuk dengan urusan lain. Malahan konon banyak yang sibuk mencarikan jabatan keluarganya.

Penumpang Turun Naik

Belakangan PDI Perjuangan memang mirip bus umum. Terlalu banyak penumpang   yang gampang naik dan dengan beragam karakter dan beragam kepentingan. Sebagian turun semaunya di sembarang tempat karena macam-macam urusan. Ada pula yang turun tanpa pamit dan pindah bus. Dan pada waktu yang sama ada juga penumpang bus lain tiba-tiba naik.

Meskipun ada banyak yang turun di tengah jalan, masih lebih banyak penumpang yang naik, baik penumpang yang menunggu di terminal atau menunggu di tikungan, namun banyak pulah  penumpang dari bus lain.

Banyaknya penumpang yang naik termasuk pindahan dari bus bus lain, mungkin karena bus inilah yang paling besar, indah dan unik.

Saking banyaknya penumpang dan naiknya tidak terseleksi sehingga banyak yang tidak punya tiket. Di atas bus muncullah aneka ulah penumpang. Ada yang berebutan kursi depan bahkan ada yang ambisi duduk di samping sopir agar bisa belajar menyetir. Ada yang  memanfaatkan waktu dengan mengamen untuk  mencari tambahan isi dompet.

Meskipun semua berstatus penumpang, kemampuan ekonomi, peran dan kedudukan politiknya berbeda-beda. Yang berkemampuan ekonomi bisa mempengaruhi sopir untuk berhenti dimana dia mau. Termasuk tahu warung yang jual makanan terbaik agar bisa mentraktir sopir. Maka otomatis sang sopir bisa mengikuti kemauannya.

Yang punya kedudukan politik sama. Dia bisa mengatur posisi penumpang. Juga bisa meminta sopir untuk melalui jalur yang disenanginya. Pun mampu mengatur terminal di mana bus bisa berhenti. Dan karena dia berkuasa, sesampai di terminal yang dikehendakinya, bukan kehendak sang sopir, ia bebas memilihkan bus lain untuk memindahkan keluargabya sekaligus menjadikannya sopir di sana walaupun sang anak belum punya SIM, atau SIMnya baru kelas C tetapi sudah didorong untuk mengendalikan bus besar.

Mobil Reot

Hari ini, jika Tuham mengizinkan saya berencana pergi beribadah dan sesudah itu menghadiri peringatan 1.000 hari meninggalnya seorang kawan seperjuangan bung Roy BB Janis.

Saya mengenang beliau saat sedang mencermati aneka ulah penumpang bus besar nenjadi bahan ceritra di berbagai tempat. Sebab dengan beliau, walau nelewati medan yang sangat berat, kami segelintir terus bertahan mendorong, mendorong karena kesulitan jalan sebuah mobil kecil lagi reot  dengan nama PDI Promeg.

Meski kecil dan reot, inilah kendaraan yang amat bersejarah karena digunakan berjuang untuk sampai ke terminal reformasi.

Karena kegigihan, di jalan banyak yang bersimpati ikut mendorong, tanpa diminta. Semakin jauh rombongan kian bertambah dan berkat rahmat Tuham Yang Maha Kuasa, rombongan tiba di terminal reformasi.

Harapannya, sesuai perbincangan di jalan, di terminal ini segala sesuatu  akan di tata dengan baik, agar teratur dengan baik dan agar bermanfaat untuk bersama secara baik. Di antaranya KKN harus dihentikan. Itu yang keras diteriakkan sepanjang jalan sampai banyak yang kehausan.

Yang mengherankan, sekarang, KKN  bukannya surut apalagi hapus, malah tambah subur. Nepotisme misalnya. Sejelek-jeleknya Orde Baru, tidak ada bupati, walikota yang digantikan istri atau anaknya sekalipun dikecam sarat nepotisme dengan anekdot AMPI (Anak, Menantu, Ponakan, Istri ).

Mungkin penumpang bus besar lupa perjalanan berat itu sehingga  konon ada di antaranya yang sangat sibuk mengurus anaknya menjadi sopir di bus lain sekalipun belum punya SIM yang semestinya.

Memang, konsisten mudah diucapkan, yang sulit melakoninya, karena konsisten itu mahal.  (*)

  • Bagikan