Festival Panetteq, Merawat Tenunan Peradaban Mandar

  • Bagikan
Perempuan-perempuan Mandar saat fokus manetteq di Buttu Ciping Kecamatan Tinambung, Polman. -- foto: m. danial --

LEBIH separuh lantai bangunan utama Taman Budaya dan Museum Sulbar di Buttu Ciping, Kecamatan Tinambung, Kabupaten Polman, Sulbar, dipadati puluhan perempuan, Minggu 30 Oktober 2022.

Laporan:
M. Danial
Tinambung, Polman

Sebagian besar dari mereka adalah para perajin tenunan tradisional atau panette’ lipaq saqbe atau sarung sutra Mandar. Kehadiran mereka lengkap dengan peralatan yang disebut tandayang, untuk sebuah persamuhan yang disebut Festival Panetteq.

Pekerjaan sebagai perajin tenunan tradisional atau manetteq sarung sutra Mandar ditekuni para perempuan suku Mandar, khususnya di Kabupaten Polman. Profesi tersebut, identik dengan silawiparriq atau saling membantu dalam keluarga yang merupakan kearifan lokal masyarakat Mandar sejak dulu.

Para istri nelayan, misalnya, menyibukan diri dengan manette’ untuk mendapat penghasilan tambahan sebagai bentuk siwaliparriq dengan suaminya yang sedang melaut.

Sejak dekade belakangan, pembuatan sarung sutra Mandar sebagai usaha kerajinan terus tergerus. Perkembangannya makin mengkhawatirkan karena yang menekuninya makin berkurang.

Penyebabnya, hasil pekerjaan manetteq satu lembar sarung sutra tidak sebanding dengan proses yang tidak bisa dikatakan mudah, dan membutuhkan waktu berhari-hari. Kekinian, yang menekuni pekerjaan manetteq pada umumnya berusia di atas 40-an tahun.

Penggagas Festival Panetteq di kawasan Buttu Ciping, Adil Tambono menyebut tujuan menghadirkan para panetteq untuk membangkitkan semangat perempuan Mandar terhadap kerajinan tradisional tersebut.

Festival yang diberi tema “Tenunan Mandar Tenunan Peradaban” itu, merupakan upaya menumbuhkan minat dan semangat para  perempuan milenial Mandar untuk belajar manetteq, supaya manetteq tidak semakin tergerus perkembangan zaman.

“Tujuan kami, memberikan semangat kepada panetteq yang belakangan ini makin tergerus karena faktor ekonomi. Intinya, mendorong kerajinan manetteq agar bisa tetap berdenyut, tidak (menjadi) hilang karena tidak diminati, terutama oleh para perempuan muda Mandar,” jelas Adil Tambono.

Diharapkan menumbuhkan minat dan kebanggaan terhadap lipaq saqbe Mandar yang merupakan hasil kerajinan tenunan tradisional, terutama bagi kaum muda Mandar sehingga turut menjaga warisan budaya tradisional yang sudah ditetapkan sebagai warisan budaya tak benda itu tidak punah.

Menghadirkan para panetteq pada festival tersebut, sebut Adil, merupakan juga bentuk edukasi kepada masyarakat untuk melestarikan lipaq saqbe Mandar sebagai identitas masyarakat Mandar.

Salah satu panetteq, Katon (45 tahun) mengaku tantangan yang dihadapi profesi yang telah ditekuni sejak remaja, karena pendapatan tidak seberapa dibanding biaya dan waktu yang dibutuhkan untuk menghasilkan satu lembar sarung sutra. Nilai jualnya hanya sekira Rp150.000 sampai Rp200.000, yang dikerjakan paling sedikit empat-lima hari.

“Harga bahan baku, seperti benang tambah mahal, kita peroleh dari pedagang yang biasanya datang membeli sekaligus menawarkan bahan baku benang. Kita biasanya lebih langsung menenun kalau ada pesanan, para pemesan minta juga dibuatkan motif tertentu,” jelasnya.

Seorang perempuan muda yang hadir di lokasi Festival Panetteq, Sahira, mengatakan mengetahui mengenai manetteq karena pekerjaan itu ditekuni ibunya setiap hari. Ia mengaku tertarik melihat panetteq, makanya sengaja datang menyaksikan festival panette’ di Buttu Ciping. Apakah sudah pernah belajar praktik manetteq ?

“Sejauh ini belum (pernah), tapi saya tertarik melihat. Makanya sengaja ke sini melihat festival,” jelas mahasiswa jurusan manajemen salah satu perguruan tinggi negeri di Majene itu.

Saya sempat berbincang ringan soal panette’ dan pelestarian warisan tradisional Mandar dengan beberapa teman, sambil menyeruput kopi siang di kawasan Buttu Ciping.

Kesimpulan perbincangan, pentingnya dukungan riel pemerintah dan peranan para stakeholders terkait terhadap para perajin tenunan tradisional lipaq saqbe Mandar agar tetap semangat melakoni usaha kerajinan tersebut.

Dukungan riel dimaksud, antara lain mengenai kemudahan memeroleh bahan baku dengan harga terjangkau, dan kepastian pemasaran produksi para perajin tenunan tradisional tersebut. Kepastian pemasaran, diyakini akan menggairahkan semangat para perajin.

Imbauan pemerintah untuk kebanggaan menggunakan produksi dalam negeri, bisa dikondisikan untuk penggunaan produksi lokal yang merupakan identitas daerah.

“Seingat saya, pemerintah sudah sering ada imbauan kepada para pegawai untuk menggunakan pakaian corak khas daerah pada hari tertentu. Sayangnya, imbauan itu tidak efektif, tidak lebih dari sekedar slogan saja,” komentar seorang warga di arena festival panetteq. (*)

  • Bagikan