Diaspora Passokkorang ke Ulumandaq

  • Bagikan
Taukong, salah satu kampung tua di pedalaman Ulumandaq, 27 Februari 2024. -- Muhammad Ridwan Alimuddin --

Ketika Kerajaan Passokkorang runtuh di masa pemerintahan raja kedua Balanipa, Tomepayung (1565 – 1580), bangsawan dan rakyat Passokkorang mengungsi ke mana-mana.

Oleh: Muhammad Ridwan Alimuddin

Dalam lontar atau dalam tulisan M. T. Azis Syah “Sejarah Mandar” (1997) ada istilah “dongi-dongiq tirimbaqna Balanipa”. Secara harfiah berarti “burung gereja yang terusir oleh Balanipa”. Maknanya, rakyat Passokkorang yang terusir laksana burung karena serangang Kerajaan Balanipa.

Pengungsi Passokkorang disebut mengungsi ke Bugis, Toraja, Sendana, Alu, Ulunna Salu. Dalam tradisi lisan di Mandar ada cerita bahwa orang Passokkorang juga mengungsi ke Tande, Rusung, Pamboqborang, Pamboang, Adolang, Sendana dan Ulumandaq yang semuanya sekarang masuk wilayah Kabupaten Majene.

Beberapa argumen yang bisa menjadi bukti bahwa betul orang Passokkorang menyebar ke wilayah tersebut antara lain menurut Lontar Pattappingang/Leqdang, Paqbicara pertama di Pamboang bernama Tomellu-melluangang. Berasal dari Passokkorang, tinggal di Kayu Paqdis Pallarangang.

Dalam lontar tersebut ditulis “Inilah yang menjelaskan membicarakan mula adanya Paqbicara di Pamboang. Dialah yang dinamakan Tomellu-melluangang. Orang dari luarlah yang menjadi Paqbicara maka adalah Paqbicara di Pamboang. Dia adalah orang dari (Kerajaan) Passokkorang. Pada awal kedatangan Tomellu-melluangang tiba di Pallarangang maka tinggallah dia di Kayu Paqdis)”.

Bukti lain, ada makam keramat di Passokkorang yang rutin diziarahi oleh orang-orang Rusung (dekat Pamboborang) di Majene. Juga adanya keyakinan beberapa orang tua di tempat yang disebut di atas bahwa dulu ada orang Passokkorang datang ke situ.

Setelah Kerajaan Passokkorang takluk, wilayahnya diambil alih oleh Kerajaan Balanipa, diantaranya Tomadio, Mapilli, Tapango – Nepo. “Tiga kerajaan itu diistilahkan Kerajaan Tallumbanua atau “Bate dari Balanipa, yang akan membantu Balanipa jika ada perang dan mempersembahkan tari pattuqduq jika ada acara Keraja Balanipa,” tulis A. M. Sarbin Sjam dalam buku “Bunga Rampai Kebudayaan Mandar dari Balanipa” (1997).

Memang dalam sejarah Mandar ada disebut “assitalliang (perjanjian) antara Tomepayung Raja Balanipa dengan Paliliq Arua. Merupakan perjanjian antara Tomepayung dengan para penguasa Lenggo, Karombang, Saburaq, Batu (keempatnya disebut Palili’na Pa’buttu), Tapango, Riso, Dakka, dan Belua (keempatnya disebut Paliliqna Paqbiring). Kedelapan daerah tersebut dikenal dengan sebutan Paliliq Arua.

Berkata Tomepayung “Jangan engkau menginginkan kebesaran, Paliliq, saya pun tidak menginginkan kekecilan. Satu pihak tidak mencurigai dan satu pihak tidak mengkhianati. Barangsiapa yang ingkar dari janji ini, dibalikkan diturunkan bubungan rumahnya ke bawah dan dibalikkan tiang rumahnya ke atas. Besok atau lusa ada rusuh di Balanipa, supaya bersiap, kemudian kita saling membantu. Berkata Paliliq, Sepanjang saya di laut tidak tertimpa bahaya, tidak diterbangkan layar, dan sepanjang saya masih di daratan, kami akan persiapkan seluruh persenjataan yang ada kami kerahkan ke medan perang secara habis-habisan. Selanjutnya dikatakan, besok atau lusa ada keluarga raja/hadat dari Balanipa masuk ke dalam negerimu, diharapkan ia tidak terganggu, selamat, tidak lapar dan tidak haus. Apa perintah di negerimu dikerjakan mereka. Tapi kalau kau berikan makanan yang beracun, minuman memabukkan berarti engkau menginginkan kebesaran, buatlah perhitungan dengan Balanipa karena itulah yang membatalkan perjanjian.”

Perjanjian di atas terjadi sesudah Tomepayung menghancurkan Kerajaan Passokkorang, demikian tertulis dalam buku “Sejarah Mandar”(1997) karya M. T. Azis Syah. (*)

  • Bagikan